Minggu, 27 Maret 2011

Bukan Begitu Maksudnya, Sayang...

hand_with_mouth

Fitri mengeluh. Setiap kali dia mengajak suaminya mengobrol tentang pekerjaan, sang suami melengos (membuang kontak mata) dengan rasa jijik. Ketika ada orang lain yang berkesempatan mengobrol dengan suami Fitri dengan topik yang sama, orang itu melihat bahwa suami Fitri merendahkan alis matanya sambil melihat ke bawah. Ketika ditanya mengapa ia berbuat demikian, ia menjawab bahwa ia tidak bisa berkonsentrasi bila ia menatap langsung mata orang yang diajak berbicara, padahal ia tertarik dengan pembicaraan mereka.
Lain lagi dengan Farel. Farel beranggapan bahwa ketika seseorang diajak berbicara melipat tangannya, artinya orang itu tertutup terhadap gagasan baru. Dan saat ini dia sedang kesal dengan manajernya, karena setiap kali ia bertemu dengannya di lapangan untuk membahas sesuatu, menurutnya sang manajer tidak antusias dengan pokok bahasannya. Ia pun menyampaikan uneg-unegnya, menuduh manajernya berpandangan sempit, dengan mengemukakan asumsinya tentang 'orang yang melipat tangannya saat diajak berbicara dengan orang lain berarti tidak mau menerima pendapat orang lain'. Mendengar itu, sang manajer tertawa ngakak. Ketika tawanya sudah reda, ia bilang pada Farel bahwa lapangan tempat mereka berdiskusi udaranya terlalu dingin. Itulah sebabnya dia melipat tangannya di depan dada: Untuk menghangatkan diri!
***

Kesalahpahaman Itu Bermula Di Sini
Seberapa sering anda merasa yakin bahwa anda tahu apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan orang lain, padahal yang sebenarnya terjadi sama sekali berbeda? Mungkin lebih sering daripada yang anda duga selama ini.
Dalam bukunya Understanding NLP (IndoNLP, 2008), RH Wiwoho membahas contoh menarik dalam miskomunikasi ini dalam bab Sensory LanguageSensory Language adalah bahasa berbasiskan panca indera, yaitu bahasa yang menggunakan deskripsi dari apa yang kita lihat, dengar, raba, cium, atau kecap. Bahasa berbasis panca indera merupakan bahasa yang disetujui dan dirasakan semua orang atau bahasa yang menjadi sebuah kenyataan bersama (shared reality). Sementara itu, apa yang kita simpulkan atau kita interpretasikan dari perilaku yang dilihat panca indera itu berada di ranah non-inderawi (non sensory-based language), ada dalam pikiran atau benak masing-masing, yang bersifat subjektif, dan sangat bergantung pada orang yang menginterpretasikan. Artinya, sangatlah mungkin setiap orang punya interpretasi yang berbeda terhadap satu perilaku yang sama. Dan inilah yang biasanya menjadi sumber miskomunikasi.
Contohnya bisa kita lihat pada kasus Fitri dan Farel tadi. Ketika Fitri berkata bahwa suaminya 'melengos dengan rasa jijik', Fitri sedang menyampaikan interpretasinya tentang perilaku sang suami. Dengan kata lain, Fitri menggunakan non sensory-based language. Begitu pula ketika Farel mendeskripsikan manajernya dengan 'tertutup terhadap gagasan baru'. Padahal, yang sedang terjadi pada orang yang mereka nilai tidak demikian. Cara suami Fitri berkonsentrasi pada pembicaraan yang menarik baginya adalah dengan menundukkan pandangan dan 'memasang telinga'. Sementara manajer Farel memang jelas-jelas kedinginan.
Pada dasarnya, dengan menggunakan non sensory-based language, pengalaman Fitri dan Farel menggambarkan apa yang menjadi 'realitas pribadi' mereka; bagaimana dunia ini dalam sudut pandang mereka. Ketika mereka menginterpretasikan perilaku yang mereka dapat dari sumber-sumber inderawi, ibaratnya mereka sedang meletakkan cermin di hadapan mereka, yang menunjukkan diri mereka sebenarnya. Padahal, supaya komunikasi berlangsung dengan baik, yang perlu diletakkan di antara kita dan orang lain adalah 'jendela': Sebuah alat dalam komunikasi yang memungkinkan kita 'melihat' ke dalam diri dan dunia orang lain.
Untuk itu, bahasa berbasis inderawilah yang mesti digunakan. Dengan bahasa inderawi, kita bisa membedakan antara perilaku seseorang (menurut anda) dan menurut orang yang sedang mengalami (orang itu sendiri). Tentu saja, bagi yang baru pertama kali mengetahui bahasa inderawi ini, di awal kita akan mengalami kesulitan dalam memilah mana yang interpretasi pribadi dan mana yang merupakan bahasa inderawi. Namun dengan membiasakan diri membedakan bahasa inderawi dengan yang non-inderawi, kita akan mengetahui kapan seseorang sedang menyampaikan interpretasinya dan kapan ia menyampaikan apa yang sebenarnya ia lihat, dengar, raba, cium, serta kecap.
Contoh lain yang sering kita temui sehari-hari adalah 'wajah memerah'. 'Wajah memerah' adalah deskripsi inderawi. Interpretasinya minimal ada dua: Orang tersebut sedang marah atau sedang merasa malu. Bagaimana membedakannya? Ya anda bisa tanyakan sendiri padanya bila anda ragu-ragu. Atau misalnya ketika ada teman atau keluarga anda berkata, "Makanan di restoran itu enak." Setelah anda mencoba sendiri masakan di restoran yang dimaksud, ternyata rasa makanannya sangat pedas atau terlalu asin menurut anda. Maka kemudian anda pun merasa tertipu dan mengomel panjang-pendek pada yang merekomendasikan restoran itu. 
Tapi tunggu dulu. Perhatikan kata-katanya tadi. Ia bilang 'enak', yang jelas-jelas merupakan bahasa non-inderawi, bukannya mengatakan bahwa 'mak-nyus pedasnya' atau 'garamnya lumayan banyak'. Mungkin karena ia memang senang masakan yang pedas atau asin, sehingga ia bilang pada anda bahwa makanannya enak. Terlihat kan perbedaannya?
Beberapa aspek inderawi lain yang sering disalah-artikan adalah senyum miring, sikap acuh tak acuh, tubuh rileks dan bersandar, mata terbelalak, nada suara yang tinggi, dan wajah dipalingkan ke samping. Bila anda melihat orang lain tersenyum miring saat mendengar cerita hal buruk yang menimpa anda, jangan buru-buru menilainya sebagai senyum meremehkan atau mengejek. Bisa jadi dia tersenyum miring karena pernah merasakan hal yang sama dan sedang merasa getir karena mengingat pengalamannya tersebut. Misalnya saat anda mendapati orang lain bersikap acuh tak acuh, bisa jadi ia sedang memikirkan sesuatu yang penting sehingga ia tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya. Atau ketika ada orang yang berbicara dengan cepat dan dengan nada tinggi pada anda, belum tentu ia sedang marah-marah pada anda. Bisa jadi, ia sedang panik. Benar-benar panik.
***

Memperluas Pilihan
Setiap orang memahami segala sesuatunya dengan kerangka pengalaman dan perasaan yang pernah mereka alami. Bahkan untuk emosi-emosi yang umum dirasakan seperti rasa senang, sedih, dan kecewa, masing-masing individu memanifestasikannya dengan cara yang berbeda. Dengan belajar memahami dan berpikir dalam kerangka deskripsi inderawi dan non-inderawi, kita sebenarnya sedang belajar untuk memperluas pilihan-pilihan kita dalam menanggapi (merespon) perilaku orang lain. 
Namun ketika kita mengupayakan kelancaran komunikasi dengan orang lain, tidak berarti kita harus menggunakan bahasa inderawi secara kaku. Dalam interaksi sehari-hari, kerangka berpikir berbasis inderawi kita gunakan secara bergantian dan fleksibel dengan bahasa non-inderawi (interpretatif). Seiring dengan bertambahnya pengalaman kita membedakan bahasa inderawi dan non-inderawi, kita akan semakin memahami keadaan orang lain, apa memang sebenarnya terjadi padanya, bukan lagi berdasarkan persepsi kita semata. Dengan demikian, mudah-mudahan, ketika terjadi kesalahpahaman antara kita dan orang lain, kita tidak lagi menyikapinya dengan 'otot leher tegang', tapi ddengan ringan kita menjelaskan duduk permasalahannya sambil tersenyum cerah. Amiiiin... :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar